Sudah hampir satu bulan aku dan
Tristan tidak menemukan riski. Riski hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Tak
seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Begitu juga dengan orangtua nya dan
orang terdekat nya.
Paket-paket misterius itu juga tidak
pernah dikirim lagi.
“tan, aku benar-benar menyerah” kata
ku pada Tristan.
Hari ini Tristan seharian ada
dirumah menemani aku karena ibu menjemput ayah dibandara.
“iya aku juga” Jawab Tristan
menyetujui perkataan aku tadi.
“tapi untuk memastikan kembali
gimana kalau kita kerumah nya lagi besok.” Lanjut Tristan.
“yaudah terserah kamu aja.” Jawabku malas.
*********
“permisi” Tristan memanggil satpam
rumah itu.
“Tristan teman nya riski ya.” Kata
satpam itu.
“iya, mau tanya soal riski lagi pak”
kata Tristan .
“gini dik “ bapak itu membukakan
pagar rumah riski untuk kami.
“riski nya udah balik kemarin. Dia
baru aja dibawa pulang sama papa nya dari Amerika.” Bapak itu menjelaskan pada
kami.
“dia dari amerika?” Tristan bertanya
keheranan.
“iya, diam-diam dia pulang ke
amerika tanpa memberitahu siapa pun termasuk mama nya.” Jelas bapak itu lagi.
“maaf ya bapak nggak bisa izinkan kalian masuk, ini pesan nyonya mama nya den
riski buat nggak ngasih masuk teman-temannya riski.”
“nggak apa-apa kok” sahut ku lagi. “tapi kami boleh nanya-nanya
bapak ya soal riski.”
“boleh kok non” kata bapak itu.
“gini non, katanya den riski mengalami depresi berat dan membuat nya hampir
dikatakan gila.” Jelas bapak itu.
“apa?” aku terkejut. Aku dan Tristan saling pandang-pandangan.
“apa?” aku terkejut. Aku dan Tristan saling pandang-pandangan.
“riski gila” Tristan menambah kan.
“iya” lanjut bapak itu lagi. “uda
dulu ya, ntar bapak dimarahi nyonya.” Bapak
itu langsung menutup pagar rumah riski.
“maksih ya pak infonya?” kami
meninggalkan rumah riski.
No comments:
Post a Comment